Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Memantaskan Naik Haji Menjadi Tamu Allah

 

Ketika mendengar atau setiap terucap doa “Labbaik Allahumma labbaik, Labbaika la syarika laka Labbaik. Innal hamda, wanni’mata laka wal mulk, La syarika lak.” Hati ini semakin bergetar dan tak akan sanggup untuk menahan tangisan kerinduan; “Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu, Tidak ada sekutu bagi–Nya, Ya Allah aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan kebesaran untuk-Mu semata-mata. Segenap kerajaan untuk-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu”. 

Sebuah kerinduan akan Baitullah tak lagi terbendung, bila lantunan talbiyah terus mengiang di telinga, maka lepaskan semua kesibukan, dan berlarilah menuju Allah. Namun, bila engkau tak sanggup berlari, maka berjalanlah. Bila tak sanggup juga, maka merangkaklah. Jangan hanya diam. Karena jarak itu tak akan mengecil kecuali engkau melangkah mendekatinya. 

Sungguh karunia yang begitu besar bagi yang terpilih menjadi tamu Allah. Akan tetapi walaupun Allah sudah mengundang secara resmi melalui firman Qs (Ali Imran; 96-97) namun belum tentu kita semua diberi kemampuan dan kesempatan memenuhi undangan Allah tersebut. Begitulah kerinduan di jiwa setiap muslim untuk berusaha memampukan diri melakukan perjalanan suci ke Baitullah serta menyinggahi kota Nabi sangatlah besar. 

Akan tetapi mengapa hati kita selalu ragu untuk menuju Baitullah? mengapa pula kita merasa belum mampu ke Baitullah? dan mengapa hati kita selalu terbelenggu dunia dan ketidakyakinan? Keniscayaannya dibutuhkan sebuah keyakinan yang harus kita miliki sebagai mana sebuah hadist yang diriwayatkan dalam HR. Al-Fakihani dalam Akhbaru Makkah, jika orang yang melaksanakan haji dan orang yang melaksanakan umrah adalah tetamu Allah. Allah SWT akan memberi apa yang mereka minta; akan mengabulkan doa yang mereka panjatkan; akan mengganti biaya yang telah mereka keluarkan; dan akan melipat-gandakan setiap satu dirham menjadi satu juta dirham.”

Menyoal derajat keyakinan seseorang Ibnu Taimiyah membagi pengertian yakin itu kepada 3 derajat, yaitu: (1).‘Ilmu yakin yaitu keyakinan yang didasarkan kepada pendengaran, pemberitaan, (kabar). (2).’Ainun yakin yaitu keyakinan karena berdasar penglihatan dengan mata, mempersaksikan sendiri. (3). ’Haqqul-yakin yaitu keyakinan yang timbul karena turut mengalami sendiri, merasakan dan menghayatinya.  Ibnu  Taimiyah  memberikan  perumpamaan tentang tingkat dan derajatnya satu demi satu, dengan mengambil contoh mengenai madu. Derajat yang pertama (ilmul-yakin),seseorang mendengar  bahwa di suatu tempat  ada tersedia madu. Dia percaya karena orang  yang  memberitahukan itu adalah seseorang yang lurus (siddik). Dia percaya  karena  di  tempat yang disebutkan itu memang banyak di jumpai madu. 

Kemudian,  dia melihat dan mempersasikan sendiri madu itu dengan mata kepalanya. Dia melihat warna yang kemerah-merahan seperti air gula, kental  dan  lain-lain. Pada saat itu, keyakinannya  meningkat  kepada ‘ainul-yakin. Akhirnya, dia mencoba mencicipi madu itu, terasa manis dan segar, rasa dan  lezatnya  memang benar-benar madu. Di  sini  kepercayaannya meningkat mencapai derajat haqqul-yakin, keyakinan yang pasti. (‘’Majmu-‘aitul Rasa-ilil Kubra’’,oleh Ibnu Taimiyah, jilid II, hal. 159).

Sebuah jaminan untuk ibadah haji atau umrah, Allah sudah menyebarluaskan panggilan atau undangan ini kepada seluruh umat manusia. Undangan ini sudah dibuat oleh Allah dan disebarluaskan untuk hambaNya sejak ribuan tahun lalu oleh Nabi Ibrahim AS dan dilanjutkan oleh Rasulullah SAW, undangan ini akan tetap ada sampai akhir zaman. 

Yakinlah bahwa Allah itu tidak memanggil orang yang mampu, tetapi Allah memampukan orang yang terpanggil’, selalu mantapkan hati dan yakinkan diri jika tak ada yang tak mungkin jika Allah sudah berkehendak. Untuk bisa menjadi yang “terpanggil” niat saja tidak cukup, haruslah jika niat dan keinginan yang kuat itu dimanifestasikan dalam ibadah dan ikhtiar kita secara istiqomah. Salah satu ciri orang yang layak menjadi tamu Allah adalah orang yang memang dalam keseharianya adalah orang yang taat kepada Allah.. Man Jadda Wa Jadda. 

Posting Komentar untuk "Memantaskan Naik Haji Menjadi Tamu Allah"